Kenapa kita tidak bisa menggelitik diri sendiri? Dan kenapa ada orang yang bisa menerima sensasi geli dengan santai sementara yang lain menjerit-jerit tak tertahankan? Neuroscientist Konstantina Kilteni dari Donders Institute berpendapat dalam sebuah artikel ilmiah yang dipublikasikan pada 23 Mei bahwa penelitian tentang geli (tickling) seharusnya dipandang lebih serius. Ia meneliti pertanyaan-pertanyaan ini di tickle lab-nya di Radboud University.
Socrates sudah mempertanyakannya 2.000 tahun lalu, dan Charles Darwin juga memikirkannya habis-habisan: apa sebenarnya geli itu, dan kenapa kita sangat sensitif terhadap rasa geli? “Geli adalah topik yang relatif kurang diteliti,” kata Konstantina Kilteni, seorang neuroscientist. Ia berargumen bahwa geli adalah subjek yang sangat menarik untuk diteliti. “Ini adalah interaksi kompleks antara aspek motorik, sosial, neurologis, perkembangan, dan evolusi. Jika kita mengetahui bagaimana geli bekerja di tingkat otak, itu bisa memberikan banyak wawasan ke dalam berbagai topik lain dalam ilmu saraf. Geli, misalnya, bisa memperkuat ikatan antara orang tua dan anak, dan kita biasanya memang menggelitik bayi dan anak-anak kita. Tapi bagaimana otak memproses rangsangan yang menggelitik, dan apa hubungannya dengan perkembangan sistem saraf? Dengan menelitinya, kita bisa belajar lebih banyak tentang perkembangan otak pada anak-anak.”
Autisme
Penelitian juga menunjukkan bahwa orang dengan autism spectrum disorder (ASD), misalnya, merasakan sentuhan sebagai lebih menggelitik dibandingkan orang tanpa ASD. Meneliti perbedaan ini bisa memberikan wawasan tentang perbedaan struktur atau fungsi otak antara orang dengan dan tanpa ASD, serta membantu memperluas pengetahuan tentang autisme itu sendiri.
“Kita juga tahu bahwa kera seperti bonobo dan gorila merespons sentuhan geli, dan bahkan tikus pun diketahui bisa demikian. Dari perspektif evolusi, apa sebenarnya tujuan dari geli ini? Apa manfaatnya bagi kita?”
Fakta bahwa kita tidak bisa menggelitik diri sendiri juga menarik dari sudut pandang ilmiah: “Tampaknya otak kita bisa membedakan antara diri sendiri dan orang lain, dan karena kita tahu kapan dan di mana kita akan menggelitik diri sendiri, otak bisa mematikan refleks geli tersebut sejak awal. Tapi kita belum benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi di otak saat kita digelitik.”
Geli yang Seperti Apa?
Kilteni menyebutkan bahwa berbagai pertanyaan ini belum terjawab karena belum ada definisi yang jelas di kalangan ilmiah mengenai apa itu “geli” secara spesifik – misalnya, ada perbedaan antara menggelitik ketiak seseorang dengan tangan secara intens dan menyentuh punggung seseorang dengan bulu secara ringan. Sensasi pertama masih sangat kurang diteliti, sementara kita sudah tahu lebih banyak tentang stimulasi seperti bulu yang lembut. Selain itu, sulit untuk membandingkan antar studi yang sudah ada: jika seseorang digelitik oleh orang lain, sulit untuk meniru bentuk gelian tersebut secara persis pada subjek uji coba lainnya.
Laboratorium Geli
Untuk itulah Kilteni memiliki tickling lab khusus: di dalamnya terdapat kursi dengan sebuah pelat yang memiliki dua lubang. Anda meletakkan kaki Anda melewati lubang-lubang tersebut, lalu sebuah alat mekanik akan menggelitik telapak kaki Anda. Dengan begitu, setiap eksperimen geli bisa dilakukan dengan cara yang persis sama. Neuroscientist ini mencatat secara detail apa yang terjadi di otak Anda, sekaligus memantau reaksi fisik lainnya seperti detak jantung, keringat, pernapasan, maupun reaksi berupa tawa atau jeritan. “Dengan memasukkan metode menggelitik ini ke dalam eksperimen ilmiah yang tepat, kita bisa memandang penelitian tentang geli secara serius. Bukan hanya agar kita benar-benar memahami geli itu sendiri, tapi juga otak kita.”
Jurnal Referensi:
Konstantina Kilteni. The extraordinary enigma of ordinary tickle behavior: Why gargalesis still puzzles neuroscience. Science Advances, 2025; 11 (21) DOI: 10.1126/sciadv.adt0350
Comments